Langsung ke konten utama

Privilese Kotoran Telinga

Ini cerita nggak penting, tapi biar gak lupa aja, betapa miris pelayanan negara kita. Karena, ini bukan sekali dua kali aku dihadapkan sama pelayanan BPJS, sebelumnya juga pernah diinfus karena gejala tipes. Beberapa orang di sekitarku juga pernah cerita beberapa hal yang sama. Makanya, aku coba tuangkan lewat cerita kali ini.

Waktu itu aku harus ke poli THT karena telingaku udah kotor dan ga bisa mendengar dengan baik. Walaupun rajin bersihin telinga, nyatanya tetep ga cukup dan tetep harus dibersihin pakai alat yang ada di rumah sakit. Baru ingat juga terakhir bersihin total itu waktu kelas 9 SMP, seterusnya cuma pakai cotton bud. MAAF KALO JOROK (tp aku udh berusaha kok...). 

Aku lupa tepatnya ada kegiatan apa waktu itu, tapi ada situasi dimana aku harus bersihin kotoran telinga ini di hari itu juga, kalau ngga salah jadwal kuliah plus kepanitiaan Ramah Tamah Civitas (aku jadi MC), makanya harus oke kondisinya. Beberapa hari sebelumnya juga udah sempet mampir ke RS untuk cek jadwal dokter tapi belum jodoh, terus sempet harus ke Bandung juga buat Studi Banding GAENAK BGT PLS makanya mau langsung ke poli THT takut menghalangi kegiatan-kegiatan lain yang berkaitan sama orang banyak.

Beres kuliah langsung ke rumah sakit, diantar Monica. Kita datang, ambil nomor antrean BPJS, aku sempat lupa bawa KTP, ada di motor jadi balik lagi ke parkiran. Setelah itu langsung masuk ke ruangan penuh pasien--dan walinya, aku cari tempat duduk dan memantau giliran antre. Tiga orang lagi, sekitar lima belas menit sisa dua orang.... tambah lima belas menit sisa satu orang lagi! Heran mereka ngurusin apa aja ya, sampai pendaftaran segitu lama? Mungkin banyak ya berkasnya, entah lah tapi saat itu aku selalu berpikir waktuku berharga sekali, gimana engga? Di saat itu pun aku masih sempet rapat beresin rundown kepanitiaan dan hal-hal kecil tapi penting lainnya. Ditambah itu kondisi penuh warga sakit, sumpek, baterai HP abis, intinya energi negatif deh.. Sementara Monica harus pulang sebentar ngurusin pacarnya yang sakit, dia pantau lewat WA.


"D050!", kata pengeras suara, huft akhirnya giliranku, aku maju dengan percaya diri bisa selesaiin kotoran sialan ini sore ini juga. Data diri lengkap, berkas lengkap, keluhan jelas, tapi tau ga yg bikin greget apa? Jadwal dokternya ga available, baru ada dua minggu lagi, ditawarin masuk waiting list. Wah, aku bingung banget dengan waktu penantian yang gak singkat ini harus terbuang sia-sia dan harus nunggu waktu yang gak jamin juga itu? Nggak bisa, aku harus beresin sore ini juga apapun yang terjadi. Aku tanya pegawainya "apa nggak ada cara lain?" udah kaya yg dramatis banget perkara kotoran telinga huhu. Dia bilang, bisa langsung tindakan tapi nggak pakai BPJS. Langsung mikir, kalau beberapa tahun lalu tindakan begini habis sekitar 350 apakah worth it dengan waktu yang ada? Sambil cek saldo rekening, masih aman sih harusnya (aman = hemat seminggu wkw), lebih baik hemat seminggu daripada tersiksa dua minggu, nggak pakai lama aku langsung bilang gas! 


Aku langsung diarahkan ke ruang pendaftaran Non-BPJS, ada di sebrang lorong, kata pegawainya boleh langsung ke poli khusus untuk tanya jadwal dokter dan biaya, oke langsung ke lantai paling atas. Setelah sampai aku langsung tanya pegawainya, jadwal oke, kisaran biaya oke, langsung proses. Mereka bilang untuk tunggu di ruang tunggu sambil dokternya berangkat dari rumah, dari sini aja udah lucu dengernya, berarti kalau nggak ada pasien Non-BPJS mereka gak tindakan sedangkan pasien BPJS diminta waiting list dua minggu? Gak paham. Tapi, aku pikir cukup beruntung juga hari itu karena ditakdirkan untuk beres tindakan di hari itu, memang rezeki si kotoran telinga, bisa dibilang privilese kotoran telinga karena dia pilih aku, hahaha.

Aku masih punya waktu satu jam, bisa berangkat salat Ashar, kata ners boleh pakai mushola yang di lantai atas aja, gak perlu ke bawah (nada halus nan lembut). Fasilitas di lantai atas itu lebih nyaman daripada di atas, ruangannya dingin, bersih, dan wangi. Beberapa kali juga aku salah dengar giliran antre karena ada nama yang mirip, tapi mereka tetep sabar. Di atas juga nggak ada banyak orang seperti di lantai bawah, jadi cukup lega, ini penilaian subjektif aja tapi aku rasa energinya positif. 




Sekitar tiga puluh menit waktu tunggu, aku mencerna apa yang udah terjadi dari beberapa jam yang lalu, gak bisa mencegah pikiranku yang penuh karena aku mengalami dua pelayanan yang berbeda,  ternyata beda banget ya pelayanan pasien yang 'mampu' dan enggak. Pasien BPJS di bawah repot-repot antre di lantai dasar, desak-desakan, bahkan ada yang nggak duduk sambil temenin sanak saudaranya :( sementara aku diperbolehkan untuk menunggu di poli khusus di lantai paling atas, ruangan lengkap AC, sofa empuk, bisa salat dengan nyaman juga. Pelayanan yang aku terima juga se-kilat itu, begitu datang di ruang tindakan ada sekitar 4-5 orang yang antre sebelum aku, tapi namaku yang duluan disebut. Aku masuk ruangan tindakan, dokternya ramah, gak butuh waktu lama untuk bersihin kotoran telinga itu, nyaman banget! Rasanya seperti baru lahir dengan telinga baru. Aku langsung penasaran ini jasa dokternya semahal apa.. selesai tindakan aku keluar ruangan dan antrean tadi dilanjut (seingetku begitu, entah memang sistemnya atau mereka beda poli). Aku lanjut urus administrasi, ternyata semua tindakan tadi setara dengan Rp205.000 cukup merogoh kocek untuk anak kos, tapi untuk ukuran orang berpenghasilan harusnya nggak seberapa. Urusan selesai, Monica juga selesai, kita pulang.

Di jalan aku semakin berpikir, se-nggak adil itu ya pelayanan BPJS dan Non-BPJS, perkara beberapa ratus ribu aja bisa membeli kenyamanan segitunya, gimana nasib pasien kritis yang gak mampu? apakah rumah sakit selalu menerapkan sistem bisnis? bukan kah pelayanan kesahatan harusnya diterima secara merata ke semua lapisan masyarakat? 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Dampak

Alifah namanya, teman asramaku yang sering cerita tentang budaya daerahnya. Dari situ, kepalaku mulai dipenuhi kesan 'orang-orang keren banget dah'. Waktu itu dia cerita tentang budaya bekenjong, kuyang, juga haul yang mana menyimpang dari syariat-syariat Islam. Saat sekolah menengah pertama, Alifah udah mengenali bahwa ini merupakan suatu permasalahan, dari apa yang didapat di sekolahnya, dia berpikir 'kok ada yang ganjil ya?' dan 'apa yang bisa aku lakukan untuk masyarakat ya?' Dari sini dia jadi punya arah untuk melakukan setiap hal, ada intensi akhirnya. Nggak mau terjerumus dan selalu berusaha membawa kebenaran untuk orang di sekitarnya. Di lain cerita, dia juga membahas kalau dia masuk ke jurusan Manajemen Sumber Daya Lahan di IPB adalah untuk mengelola potensi Kalimantan khususnya di bidang pertanian. Lagi-lagi karena disadarkan oleh kondisi pertanian yang memang belum maksimal. Dia bilang akan kembali dan mengabdi ke Kalimantan setelah kuliah di luar tan...

Tulisan yang Selesai

Sebetulnya menulis itu sudah menjadi hobiku dari kecil, mungkin untuk beberapa orang juga punya kebiasaan sederhana yang sama: menulis diary. Itu jadi sarana berlatih, juga menangkap momen penting. Fase menulis untuk diri sendiri itu berlangsung lama sekali, semua tulisanku hanya untuk aku. Aku ngga punya nyali untuk menduniakan tulisanku.  Ragu iya, takut sama pikiran orang lain juga iya. Menulis itu ngga lekang oleh zaman, aku sadar kok blog ngga lagi jadi tren untuk saat ini, tapi keseruan tersendiri ketika aku bisa punya tempat untuk bercerita, menuangkan perasaanku, malah lebih jadi kaya tempat rahasia, betul apa betul? Menulis, sesederhana mengerjakan tugas sekolah juga butuh skill, ' menulis' itu bukan sekadar mengetik atau menggoreskan pena di kertas. Pada tingkatan yang berbeda, menulis bisa dijadikan sebagai alat untuk mengubah dunia, kisah dan pemikiran yang dituang dalam tulisan sedikit banyak bisa memberi pengaruh pada sekitarnya.  Seengganya ketika kita udah beru...
Pada Suatu Hari Nanti Oleh : Sapardi Djoko Damono pada suatu hari nanti jasadku tak akan ada lagi tapi dalam bait-bait sajak ini kau tak akan kurelakan sendiri pada suatu hari nanti suaraku tak terdengar lagi tapi di antara larik-larik sajak ini kau akan tetap kusiasati pada suatu hari nanti impianku pun tak dikenal lagi namun di sela-sela huruf sajak ini kau tak akan letih-letihnya kucari (1991)