Langsung ke konten utama

Perihal Dampak

Alifah namanya, teman asramaku yang sering cerita tentang budaya daerahnya. Dari situ, kepalaku mulai dipenuhi kesan 'orang-orang keren banget dah'. Waktu itu dia cerita tentang budaya bekenjong, kuyang, juga haul yang mana menyimpang dari syariat-syariat Islam. Saat sekolah menengah pertama, Alifah udah mengenali bahwa ini merupakan suatu permasalahan, dari apa yang didapat di sekolahnya, dia berpikir 'kok ada yang ganjil ya?' dan 'apa yang bisa aku lakukan untuk masyarakat ya?' Dari sini dia jadi punya arah untuk melakukan setiap hal, ada intensi akhirnya. Nggak mau terjerumus dan selalu berusaha membawa kebenaran untuk orang di sekitarnya.

Di lain cerita, dia juga membahas kalau dia masuk ke jurusan Manajemen Sumber Daya Lahan di IPB adalah untuk mengelola potensi Kalimantan khususnya di bidang pertanian. Lagi-lagi karena disadarkan oleh kondisi pertanian yang memang belum maksimal. Dia bilang akan kembali dan mengabdi ke Kalimantan setelah kuliah di luar tanggung jawabnya sebagai mahasiswa BUD (Beasiswa Utusan Daerah). Beda sama aku yang sama sekali belum ada bayangan mau kemana dan jadi apa setelah kuliah.

Nah, berangkat dari cerita di atas, aku mau membahas tentang proses. Setiap proses seseorang itu bermula dari tujuan akhir, tujuan besarnya apa? kenapa melakukan itu? Aku salut dengan orang-orang yang memang memiliki keresahan di lingkungan sekitar, namun nggak berlarut dan justru penasaran untuk belajar lebih banyak lalu berusaha untuk memberi solusi. Tapi coba kita memposisikan diri sebagai orang yang fine-fine aja hidup dan budayanya, nggak ada problematika yang punya urgensi penting, lingkungan sehat, pemahaman agama bagus, dan latar belakang keluarga yang sejahtera.

Kalau kita lihat lebih dekat, justru kesempurnaan inilah yang menjadi celah, keterpurukannya ada di sini. Ketika kita merasa sempurna, nggak ada yang perlu diperbaiki dan nggak mengalami proses-proses yang seharusnya dialami untuk terus berkembang. Ibaratnya nggak ada pemantik untuk tetap menjaga api tetap menyala gitu.

Persepsi orang mengenai keterpurukan tentu memiliki level yang berbeda. Menurutku sendiri, terpuruk itu ketika kita tidak berproses, tidak berdampak dan seakan jalan di tempat. Nggak melulu harus melalui kegagalan. Selama seseorang nggak mampu dan mau untuk menjalani hidupnya, itu namanya terpuruk. Jadi seberuntung apapun kehidupan seseorang, pasti akan menemukan titik dimana ia merasa tidak berguna, ia tidak punya makna.

Belakangan ini aku merasa berat karena melihat sekelilingku punya banyak sekali dampak yang sudah mereka berikan ke lingkungan sekitarnya. Atau seenggaknya mereka punya tujuan dan rencana untuk keluarga ataupun daerahnya. Sementara aku hanya fokus pada diri sendiri dan merasa nggak ada yang perlu kuperbaiki kecuali diriku. Nggak tahu. Aku hanya nggak memiliki minat untuk mencari masalah-masalah itu. Yang aku peduli hanya perkembangan diri dan pencapaianku, senang-senang, dan berkelana mencari pengalaman hidup. Padahal Solum nati sumus non nobis, kita tidak dilahirkan hanya untuk diri kita sendiri. Sebetulnya nggak sepenuhnya salah ketika kita fokus ke diri sendiri karena boleh jadi masalah utamanya ya ada pada diri sendiri. Dan nggak ada yang melarang. Menyenangkan memang, tapi kalau nggak tahu arahnya kemana dan nggak ada dampaknya, buat apa?

Mungkin sampai tulisan ini dipublikasikan aku belum menemukan arahku kemana. Mungkin masih sibuk, mungkin udah tau target-target ke depannya. Tapi nggak memilih itu juga sebuah pilihan. Bisa jadi ketika kita terus mencari arah dan arti untuk memberi dampak baik ke orang lain, di situlah kita berguna dan berdampak. Ngerti nggak sih? Sama, aku juga bingung. Intinya, masalah berdampak atau nggak itu nggak bisa langsung kita sadari. Yang perlu kita lakukan ya terus belajar, melihat, mendengar, merasakan sesuatu dengan empati lalu memikirkan apa solusi yang bisa kita berikan. Prinsip nomor satu itu rendah hati. Sisanya chill aja, nggak usah kebanyakan gengsi. Hidup itu bukan cari adil, tapi cari ikhlas.

Jadi, semua orang pasti akan menemukan keterpurukan. Dan semua orang pasti punya dampak, kecil atau besar. Mau yang sejahtera atau melarat, mau sehat atau sakit. Bahkan ada yang lebih dahulu bertemu keterpurukan, ada yang sudah tua baru merasakan beratnya kehidupan.  Ada yang haha hihi doang bisa meng-influence orang, ada juga yang udah kerja keras banting tulang tapi nggak dianggap. Tinggal gimana kita bisa ajak masalah itu untuk berdamai dan berjalan beriringan, dan jangan diambil pusing. Ingat, Allah bersama orang-orang enjoy. 

Masih newbie buat nulis, malah jadi kemana-mana. Udaaah itu aja yang ada di pikiranku sekarang. Terima kasih udah baca. Au Revoir!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan yang Selesai

Sebetulnya menulis itu sudah menjadi hobiku dari kecil, mungkin untuk beberapa orang juga punya kebiasaan sederhana yang sama: menulis diary. Itu jadi sarana berlatih, juga menangkap momen penting. Fase menulis untuk diri sendiri itu berlangsung lama sekali, semua tulisanku hanya untuk aku. Aku ngga punya nyali untuk menduniakan tulisanku.  Ragu iya, takut sama pikiran orang lain juga iya. Menulis itu ngga lekang oleh zaman, aku sadar kok blog ngga lagi jadi tren untuk saat ini, tapi keseruan tersendiri ketika aku bisa punya tempat untuk bercerita, menuangkan perasaanku, malah lebih jadi kaya tempat rahasia, betul apa betul? Menulis, sesederhana mengerjakan tugas sekolah juga butuh skill, ' menulis' itu bukan sekadar mengetik atau menggoreskan pena di kertas. Pada tingkatan yang berbeda, menulis bisa dijadikan sebagai alat untuk mengubah dunia, kisah dan pemikiran yang dituang dalam tulisan sedikit banyak bisa memberi pengaruh pada sekitarnya.  Seengganya ketika kita udah beru...
Pada Suatu Hari Nanti Oleh : Sapardi Djoko Damono pada suatu hari nanti jasadku tak akan ada lagi tapi dalam bait-bait sajak ini kau tak akan kurelakan sendiri pada suatu hari nanti suaraku tak terdengar lagi tapi di antara larik-larik sajak ini kau akan tetap kusiasati pada suatu hari nanti impianku pun tak dikenal lagi namun di sela-sela huruf sajak ini kau tak akan letih-letihnya kucari (1991)